Janji
Oleh
: Resti Luthfia
Sudah
ada 15 menit Lastri duduk terdiam di halte bis. Beberapa kali bis berhenti
didepannya, tetapi tidak diacuhkannya. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Jalanan semakin
dipadati kendaraan. Trotoar juga semakin ramai dilalui orang-orang yang telah lelah bekerja seharian. Lastri tak ingin
cepat-cepat pulang. Pikirannya kacau. Kejadian tadi benar-benar menyita hati dan pikirannya.
Siang tadi, Maya teman sekelasnya
ketahuan melihat catatan saat ujian Biologi dengan bu Nunik. Guru paruh baya
yang tahun depan akan pensiun. Ibu Nunik langsung memanggil Maya saat ujian
selesai. Usut punya usut, ternyata tidak hanya Maya yang melihat catatan saat
ujian. Jiji, Doni, Indra, Fatma dan beberapa teman yang lain juga melakukannya.
Sebagian yang lain menyontek hasil ujian mereka atau saling bertanya, menukar
jawaban. Hanya hitungan jari yang mengerjakan ujian dengan jujur.
Ketahuan oleh bu Nunik diluar
perkiraan Maya dan teman-teman yang lain. Maklum, keadaan bu Nunik yang sudah
tua dan matanya yang rabun meyakinkan Maya dan teman-teman yang lain bahwa
peluang untuk ketahuan adalah kecil.
Kontan
kecurangan ini mebuat bu Nunik marah. Kecewa tepatnya. Bu Nunik hanya diam dan
keluar kelas. Meninggalkan kami yang termangu di kursi.
Lastri
benar-benar merasa bersalah. Bu nunik memang guru yang sudah tua dan sering
disepelekan teman-teman yang lain. tapi bu Nunik tetaplah seseorang yang harus
dihormati dan dihargai.
Lamunan
Lastri buyar ketika bunyi gemuruh besar mengagetkannya. Ia harus segera pulang
jika tidak ingin kehujanan dijalan.
***
Kejadian
itu benar-benar menyita pikiran Lastri. Wajahnya tak seceria yang biasanya.
Ibunya sempat bertanya, tapi hanya dibalas dengan gelengan kepala.
***
Seminggu
telah berlalu. Siang ini adalah jadwal pelajaran bu Nunik. Lastri dan
teman-temannya harap-harap cemas akankah bu Nunik mau masuk mengajar mereka.
Berdasarkan diskusi kelas sehari setelah kejadian itu, diputuskan maya, jiji,
doni dan beberapa teman-teman yang lain menemui bu Nunik untuk meminta maaf.
Semoga bu Nunik mau menerima permohonan maaf ini.
***
Suasana menjadi hening saat bu Nunik
memasuki kelas. Bu Nunik duduk dengan penuh wibawa dan menatap kami dalam diam.
5 menit berlalu dan bu Nunik tetap
diam.
Sudah memasuki 5 menit kedua, bu
Nunik masih saja diam. Waktu terasa sangat lama berputar.
“Anakku, sesuatu yang dimulai dengan
sebuah ketidakjujuran tidak akan berbuah manis pada akhirnya” ucap bu Nunik
akhirnya memecah ketegangan di antara kami.
“Ananda, mau jadi apa dirimu kelak?
Sekarang sudah tidak jujur. Apalagi nanti saat ananda sudah terjun
kemasyarakat”.
“Hidup, masa depan, tidak hanya
ditentukan oleh nilai semata”, lanjut bu Nunik dengan penekanan yang kuat.
“Di masyarakat nanti, saat ananda
sudah tidak sekolah, saat ananda telah selesai menempuh pendidikan formal,
bahkan saat ananda telah dewasa dan menjadi orang tua, tidak akan ditanya
berapa nilai raportmu? dapat berapa ujian matematika mu dulu? Berapa kali kamu
juara kelas?.... tidak akan ada anakku”.
........
“ yang menentukan menjadi ada
pribadi ananda kelak adalah apa yang ananda punya, kemampuan apa yang ananda
miliki, apa yang bisa ananda lakukan untuk masyarakat”.
“Paham?”
“Paham buuuk”, jawab kami serempak.
........
Hhhaffff, bu Nunik mengambil nafas
panjang.
“Ananda, jika saat ini dirimu sudah
tidak jujur. Mendapatkan nilai tinggi dari ketidakjujuran tersebut dan lulus,
ananda mungkin akan mendapatkan sekolah yang ananda inginkan, atau pekerjaan
yang ananda dambakan. Tetapi yakinlah, sesuatu yang dimulai dari ketidakjujuran
tidak akan berakhir bahagia. Ananda disekolahkan disini, besar harapan orangtua
kalian agar kalian berhasil nantinya. Tentunya berhasil dengan kemampuan
sendiri, bukan dari ketidakjujuran”.
Setengahnya berlalu. Nasehat panjang
bu Nunik telah membuat seluruh siswa diam terpaku. Semua sibuk dengan pikiran
masing-masing.
“Sekarang ibu maafkan. Tetapi ibu
tidak ingin kejadian ini terulang kembali. Paham?”
“Paham bukkkk”.
Bu Nunik tersenyum, “bagus”.
Dimulai dari ketua kelas, semua
murid kemudian berdiri dan bersalaman dengan bu Nunik. Meminta maaf. Begitu
juga dengan Lastri. Dia benar-benar mencamkan nasehat bu Nunik di dalam
hatinya. Dibalik kata maaf yang terucap tulus dari mulutnya, ada janji untuk
tidak mengulanginya lagi.
*SEKIAN*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar