Pages

Minggu, 03 Mei 2015

Janji

Janji
Oleh : Resti Luthfia

Sudah ada 15 menit Lastri duduk terdiam di halte bis. Beberapa kali bis berhenti didepannya, tetapi tidak diacuhkannya. Jam  sudah menunjukan pukul 5 sore. Jalanan semakin dipadati kendaraan. Trotoar juga semakin ramai dilalui orang-orang yang telah  lelah bekerja seharian. Lastri tak ingin cepat-cepat pulang. Pikirannya kacau. Kejadian  tadi benar-benar menyita hati dan pikirannya.

            Siang tadi, Maya teman sekelasnya ketahuan melihat catatan saat ujian Biologi dengan bu Nunik. Guru paruh baya yang tahun depan akan pensiun. Ibu Nunik langsung memanggil Maya saat ujian selesai. Usut punya usut, ternyata tidak hanya Maya yang melihat catatan saat ujian. Jiji, Doni, Indra, Fatma dan beberapa teman yang lain juga melakukannya. Sebagian yang lain menyontek hasil ujian mereka atau saling bertanya, menukar jawaban. Hanya hitungan jari yang mengerjakan ujian dengan jujur.
            Ketahuan oleh bu Nunik diluar perkiraan Maya dan teman-teman yang lain. Maklum, keadaan bu Nunik yang sudah tua dan matanya yang rabun meyakinkan Maya dan teman-teman yang lain bahwa peluang untuk ketahuan adalah kecil.
Kontan kecurangan ini mebuat bu Nunik marah. Kecewa tepatnya. Bu Nunik hanya diam dan keluar kelas. Meninggalkan kami yang termangu di kursi.
Lastri benar-benar merasa bersalah. Bu nunik memang guru yang sudah tua dan sering disepelekan teman-teman yang lain. tapi bu Nunik tetaplah seseorang yang harus dihormati dan dihargai.
Lamunan Lastri buyar ketika bunyi gemuruh besar mengagetkannya. Ia harus segera pulang jika tidak ingin kehujanan dijalan.
***
Kejadian itu benar-benar menyita pikiran Lastri. Wajahnya tak seceria yang biasanya. Ibunya sempat bertanya, tapi hanya dibalas dengan gelengan kepala.
***

Seminggu telah berlalu. Siang ini adalah jadwal pelajaran bu Nunik. Lastri dan teman-temannya harap-harap cemas akankah bu Nunik mau masuk mengajar mereka. Berdasarkan diskusi kelas sehari setelah kejadian itu, diputuskan maya, jiji, doni dan beberapa teman-teman yang lain menemui bu Nunik untuk meminta maaf. Semoga bu Nunik mau menerima permohonan maaf ini.
***
            Suasana menjadi hening saat bu Nunik memasuki kelas. Bu Nunik duduk dengan penuh wibawa dan menatap kami dalam diam.
            5 menit berlalu dan bu Nunik tetap diam.
            Sudah memasuki 5 menit kedua, bu Nunik masih saja diam. Waktu terasa sangat lama berputar.
            “Anakku, sesuatu yang dimulai dengan sebuah ketidakjujuran tidak akan berbuah manis pada akhirnya” ucap bu Nunik akhirnya memecah ketegangan di antara kami.
            “Ananda, mau jadi apa dirimu kelak? Sekarang sudah tidak jujur. Apalagi nanti saat ananda sudah terjun kemasyarakat”.
            “Hidup, masa depan, tidak hanya ditentukan oleh nilai semata”, lanjut bu Nunik dengan penekanan yang kuat.
            “Di masyarakat nanti, saat ananda sudah tidak sekolah, saat ananda telah selesai menempuh pendidikan formal, bahkan saat ananda telah dewasa dan menjadi orang tua, tidak akan ditanya berapa nilai raportmu? dapat berapa ujian matematika mu dulu? Berapa kali kamu juara kelas?.... tidak akan ada anakku”.
            ........
            “ yang menentukan menjadi ada pribadi ananda kelak adalah apa yang ananda punya, kemampuan apa yang ananda miliki, apa yang bisa ananda lakukan untuk masyarakat”.
            “Paham?”
            “Paham buuuk”, jawab kami serempak.
            ........
            Hhhaffff, bu Nunik mengambil nafas panjang.
            “Ananda, jika saat ini dirimu sudah tidak jujur. Mendapatkan nilai tinggi dari ketidakjujuran tersebut dan lulus, ananda mungkin akan mendapatkan sekolah yang ananda inginkan, atau pekerjaan yang ananda dambakan. Tetapi yakinlah, sesuatu yang dimulai dari ketidakjujuran tidak akan berakhir bahagia. Ananda disekolahkan disini, besar harapan orangtua kalian agar kalian berhasil nantinya. Tentunya berhasil dengan kemampuan sendiri, bukan dari ketidakjujuran”.
            Setengahnya berlalu. Nasehat panjang bu Nunik telah membuat seluruh siswa diam terpaku. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
            “Sekarang ibu maafkan. Tetapi ibu tidak ingin kejadian ini terulang kembali. Paham?”
            “Paham bukkkk”.
            Bu Nunik tersenyum, “bagus”.
            Dimulai dari ketua kelas, semua murid kemudian berdiri dan bersalaman dengan bu Nunik. Meminta maaf. Begitu juga dengan Lastri. Dia benar-benar mencamkan nasehat bu Nunik di dalam hatinya. Dibalik kata maaf yang terucap tulus dari mulutnya, ada janji untuk tidak mengulanginya lagi.

*SEKIAN*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar